– Bivitri Susanti, Ketua Dewan Pengurus Transparency Internasional Indonesia (TII), berpendapat bahwa semua pihak harus bersikap objektif ketika bereaksi terhadap daftar nominasi Tokoh Korup versi Organisasi untuk Melawan Korupsi (OCCRP).

Scroll Untuk Lanjut Membaca

Bivitri mengatakan, OCCRP merupakan sebuah jaringan besar dari orang-orang atau jurnalis yang melakukan penggalian kasus, hingga biasanya mereka mengeksekusi hasil investigasi tersebut.

Rabu (1/1/2025).

“Jika misalnya kita ingin melihat (OCCRP) menghancurkan figur negatif, kita hanya perlu melihat apakah Bashar Al Asad boleh kita terima sebagai tokoh bangsanya sendiri, sedangkan dia sudah diusir keluar dan punya rekam jejak buruk yang luar biasa.”


Baca Juga:

Menanggapi laporan investigasi seperti itu, kata Bivitri, ada dua aspek penting yang harus dipertimbangkan, yaitu metodologi dan kredibilitas lembaga atau organisasi yang bersangkutan.

“Dari sisi metodologi, Anda bisa meminta klarifikasi apabila ada kesalahan, Kol. Tapi tidak tepat jika cercaan semacam itu mencederai pekerjaan jurnalisme investigasi di dalam kerangka hukum pidana ini.”

Sebab, lanjut Bivitri, semua pihak harus menyadari bahwa pekerjaan jurnalisme adalah untuk mengungkapkan hal-hal yang tidak dapat disentuh oleh suatu sistem hukum yang korup.

Maka secara umum, jurnalis menjadi pegangan nasib bagi masyarakat sipil.

“Pada dasarnya, transparansi (OCCRP) sudah cukup jelas, karena dari segi kejujuran, mereka memang berasal dari jurnalis investigasi, dan kita bisa melacak secara jelas bagaimana organisasi mereka beroperasi, serta bagaimana sumber pendanaannya,” kata dirinya.

Saat ditanya pendapatnya tentang tanggapan Jokowi yang menyebut bahwa itu adalah upaya pembubaran jauh sebelumnya terhadapnya, Bivitri melihat itu sebagai tindakan bertahan.

“Jelaskan Saya tentang Manfaat dan Sumsum Setiap Bunsu Dari Kegeriaan Dengan Dedaunan Lor yang Walaupun Diprapunschinglesanga”.

“Jurnalis seperti ini tidak boleh menggunakan kerangka hukum pidana. ‘Belum pernah ada putusan adilannya,’ jelasnya.

Ia mencontohkan beberapa kegiatan atau peran kepala negara yang dibahas atau digugat media namun tidak pernah diputuskan oleh pengadilan bahwa mereka bersalah atau mengguankan korupsi.

“Jika Anda menyatakan bahwa ini tidak mungkin terjadi, saya pikir itu akan menunjukkan kebodohan dari Anda karena Anda menggunakan epistemologi yang ketinggalan jaman itu,” katanya.


Baca Juga:

Jadi, pernyataannya kansionalistik, sehingga tidak bisa objektif melihat situasi dalam sebuah negara hukum yang memang lagi rusak.

Sebelumnya, dalam percakapan yang sama, Ketua Umum Jokowi Mania atau Joman, Immanuel Ebenezer, mengaku curiga bahwa masuknya nama Joko Widodo (Jokowi) sebagai nominator Tokoh Terkorup versi OCCRP merupakan propaganda untuk menghancurkan tokoh rakyat.

Dia awalnya bertanya dari mana OCCRP mengambil kesimpulan tentang tokoh yang korup, karena belum ada proses peradilan yang telah dilakukan.

“Terlebih dahulu, temuan apa yang menjadi dasar ketika Transparency International dan OCCRP mengambil kesimpulan bahwa Presiden Jokowi adalah tokoh korup, sebelum proses hukum pun mulai,” ucap Noel.

Kemudian mereka yang mengklaim sebagai lembaga investigasi malah ikut memberi ‘pelopor’ atau sang ‘pahlawan’ dari korupsi membuat heboh, sepertinya seperti perilaku Jokowi adalah yang paling biadab di dunia, menurut saya ini bukanlah sikap yang patut harapkan dari sebuah Lembaga Investigasi.

Dalam konferensi pers, seorang pria yang juga menjabarkan posisinya sebagai Wakil Menteri Tenaga Kerja kemudian menyatakan kecurigaannya bahwa pencantuman nama Jokowi tersebut harusnya disebabkan oleh propaganda.

Maka saya merasa curiga, jangan-jangan ini adalah upaya propaganda intelijen sengaja yang ingin menghancurkan tokoh-tokoh bangsa ini yang disukai oleh rakyat.